Monday, August 13, 2007

Fwd: [Perbendaharaan List] Renungan Perkawinan

---------- Forwarded message ----------
From: iwanoor <iwanoor@yahoo.com>
Date: Aug 13, 2007 12:57 PM
Subject: [Perbendaharaan List] Renungan Perkawinan
To: perbendaharaan-list@yahoogroups.com

Dua orang yang baik, tapi mengapa perkawinan tidak berakhir bahagia

Ibu saya adalah seorang yang sangat baik, sejak kecil, saya melihatnya
dengan begitu gigih menjaga keutuhan keluarga. Ia selalu bangun dini
hari, memasak bubur yang panas untuk ayah, karena lambung ayah tidak
baik, pagi hari hanya bisa makan bubur. Setelah itu, masih harus
memasak sepanci nasi untuk anak-anak, karena anak-anak sedang dalam
masa pertumbuhan, perlu makan nasi. Dengan begitu baru tidak akan
lapar seharian di sekolah. Setiap sore, ibu selalu membungkukkan badan
menyikat panci, setiap panci di rumah kami bisa dijadikan cermin,
tidak ada noda sedikikt pun. Menjelang malam, dengan giat ibu
membersihkan lantai, mengepel seinci demi seinci, lantai di rumah
tampak lebih bersih dibandingkan sisi tempat tidur orang lain, tiada
debu sedikit pun meski berjalan
dengan kaki telanjang. Ibu saya adalah seorang wanita yang sangat rajin.

Namun, di mata ayahku, ia (ibu) bukan pasangan yang baik. Dalam
proses pertumbuhan saya, tidak hanya sekali saja ayah selalu
menyatakan kesepiannya dalam perkawinan, tidak memahaminya. Ayah saya
adalah seorang laki-laki yang bertanggung-jawab. Ia tidak merokok,
tidak minum-minuman keras, serius dalam pekerjaan, setiap hari
berangkat
kerja tepat waktu, bahkan saat libur juga masih mengatur jadual
sekolah anak-anak, mengatur waktu istrirahat anak-anak, ia adalah
seorang ayah yang penuh tanggung
jawab, mendorong anak-anak untuk berprestasi dalam pelajaran. Ia suka main
catur, membuat kaligrafi, suka larut dalam dunia buku-buku kuno.

Ayah saya adalah seorang laki-laki yang baik, di mata anak-anak, ia
maha besar seperti langit, menjaga kami, melindungi kami dan mendidik
kami. Hanya saja di mata ibuku, ia juga bukan seorang pasangan yang
baik. Dalam proses pertumbuhan saya, kerap kali saya melihat ibu
menangis terisak secara diam diam di sudut halaman. Ayah menyatakannya
dengan kata-kata, sedangkan ibu dengan aksi, menyatakan kepedihan yang
dijalani dalam perkawinan. Dalam proses pertumbuhan, aku melihat juga
mendengar ketidak-berdayaan dalam perkawinan ayah dan ibu, sekaligus
merasakan betapa baiknya mereka, dan mereka layak mendapatkan sebuah
perkawinan yang baik.

Sayangnya, dalam masa-masa keberadaan ayah di dunia, kehidupan
perkawinan mereka lalui dalam kegagalan. Sedangkan aku juga tumbuh
dalam kebingungan, dan aku bertanya pada diriku sendiri: Dua orang
yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang bahagia?

Pengorbanan yang dianggap benar Setelah dewasa, saya akhirnya
memasuki usia perkawinan, dan secara perlahan?lahan saya pun
mengetahui akan jawaban ini. Di masa awal perkawinan, saya juga sama
seperti ibu, berusaha menjaga keutuhan keluarga, menyikat panci dan
membersihkan lantai, dengan sungguh-sungguh berusaha memelihara
perkawinan sendiri. Anehnya, saya tidak merasa bahagia, dan suamiku
sendiri sepertinya juga tidak bahagia. Saya merenung, mungkin lantai
kurang bersih, masakan yang tidak enak. Lalu dengan giat saya
membersihkan lantai lagi, dan memasak dengan sepenuh hati. Namun,
rasanya kami berdua tetap saja tidak bahagia?

Hingga suatu hari, ketika saya sedang sibuk membersihkan lantai,
suami saya berkata:
"Istriku, temani aku sejenak mendengarkan alunan musik!" Dengan mimik
tidak senang saya berkata: "Apa tidak melihat masih ada separuh lantai
lagi yang belum dipel?"
Begitu kata-kata ini terlontar, saya pun termenung, kata-kata yang
sangat tidak asing di telinga, dalam perkawinan ayah dan ibu saya, ibu
juga kerap berkata begitu sama ayah. Saya sedang mempertunjukkan
kembali perkawinan ayah dan ibu, sekaligus mengulang kembali
ketidak-bahagiaan dalam perkawinan mereka. Ada beberapa kesadaran
muncul dalam hati saya. "Apa yang kamu inginkan?" Saya hentikan
sejenak pekerjaan saya, lalu memandang suamiku, dan teringat akan ayah
saya? Ia selalu tidak mendapatkan pasangan yang dia inginkan dalam
perkawinannya. Waktu ibu menyikat panci lebih lama daripada
menemaninya. Terus menerus mengerjakan urusan rumah tangga adalah cara
ibu
dalam mempertahankan perkawinan. Ia memberi ayah sebuah rumah yang
bersih, namun,
jarang menemaninya, sibuk mengurus rumah. Ia berusaha mencintai ayah
dengan caranya, dan cara ini adalah mengerjakan urusan rumah tangga.
Dan aku juga menggunakan caraku berusaha mencintai suamiku, cara saya
juga sama seperti ibu.
Perkawinan saya sepertinya tengah melangkah ke dalam sebuah cerita
"Dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang
bahagia?"

Kesadaran saya membuat saya membuat keputusan (pilihan) yang sama.
Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu duduk di sisi suami,
menemaninya mendengarkan musik, dan dari kejauhan saat memandangi kain
pel di atas lantai seperti menatapi nasib ibu.

Saya bertanya pada suamiku: "Apa yang kau butuhkan?" "Aku
membutuhkanmu untuk menemaniku mendengarkan musik. Rumah kotor sedikit
tidak apa-apalah, nanti saya carikan pembantu untukmu, dengan begitu
kau bisa menemaniku!" ujar suamiku.
"Saya kira kamu perlu rumah yang bersih, ada yang memasak untukmu, ada yang
mencuci pakaianmu?. dan saya mengatakan sekaligus serentetan hal-hal
yang dibutuhkannya. " "Semua itu tidak penting!", ujar suamiku. Yang
paling kuharapkan adalah kau bisa lebih sering menemaniku. Ternyata
sia-sia semua pekerjaan yang saya lakukan,
hasilnya benar-benar membuat saya terkejut. Kami meneruskan menikmati
kebutuhan masing-masing, dan baru saya sadari ternyata dia juga telah
banyak melakukan pekerjaan
yang sia-sia, kami memiliki cara masing-masing bagaimana saling
mencintai, namun, bukannya cara pihak kedua.

Jalan kebahagiaan
Sejak itu, saya menderetkan sebuah daftar kebutuhan suami, dan
meletakkanya di atas meja buku, Begitu juga dengan suamiku, dia juga
menderetkan sebuah daftar kebutuhanku. Puluhan kebutuhan yang panjang
lebar dan jelas, seperti misalnya waktu
senggang menemani pihak kedua mendengarkan musik, saling memeluk kalau
sempat, setiap pagi memberi sentuhan selamat jalan bila berangkat.
Beberapa hal cukup mudah dilaksanakan, tapi ada juga yang cukup sulit,
misalnya: 'Dengarkan aku, jangan memberi komentar'. Ini adalah
kebutuhan suami. Kalau saya memberinya usul, dia bilang akan merasa
dirinya akan tampak seperti orang bodoh. Menurutku, ini benar-benar
masalah gengsi laki-laki. Saya juga meniru suami tidak memberikan
usul, kecuali dia bertanya pada saya. Kalau tidak saya hanya boleh
mendengarkan dengan serius, menurut
sampai tuntas. Demikian juga ketika salah jalan. Bagi saya ini
benar-benar sebuah jalan yang sulit dipelajari, namun, jauh lebih
santai daripada mengepel, dan dalam kepuasan kebutuhan kami ini,
perkawinan yang kami jalani juga kian hari semakin penuh daya hidup.
Saat saya lelah, saya memilih beberapa hal yang gampang dikerjakan,
misalnya menyetel musik ringan. Dan kalau lagi segar bugar merancang
perjalanan ke luar kota. Menariknya, pergi ke taman flora adalah hal
bersama dan kebutuhan kami. Setiap ada pertikaian, kami selalu pergi
ke taman flora, dan selalu bisa menghibur gejolak hati masing-masing.

Sebenarnya, kami saling mengenal dan mencintai juga dikarenakan
kesukaan kami pada taman flora, lalu bersama kita menapak ke tirai
merah perkawinan. Kembali ke taman bisa kembali ke dalam suasana hati
yang saling mencintai bertahun-tahun silam. Bertanya pada pihak kedua:
"Apa yang kau inginkan", kata-kata ini telah menghidupkan sebuah jalan
kebahagiaan lain dalam perkawinan. Keduanya akhirnya melangkah ke
jalan bahagia. Kini,
saya tahu kenapa perkawinan ayah ibu tidak bisa bahagia. Mereka
terlalu bersikeras
menggunakan cara sendiri dalam mencintai pihak kedua, bukan mencintai
pasangannya dengan cara pihak kedua. Diri sendiri lelahnya setengah
mati, namun pihak kedua tidak dapat merasakannya. Akhirnya ketika
menghadapi penantian perkawinan, hati ini juga sudah kecewa dan
hancur. Karena Tuhan telah menciptakan perkawinan, maka menurut saya,
setiap orang pantas dan layak memiliki sebuah perkawinan yang bahagia,
asalkan cara yang kita pakai itu tepat, menjadi orang yang dibutuhkan
pihak kedua! Bukannya
memberi atas keinginan kita sendiri. Perkawinan yang baik, pasti
dapat diharapkan.~

--
[h][A][n][u][N][g] - living in the beautiful life

11 mdpl, 0°57'166" LS, 122°47'287" BT
"Semua Orang itu Guru, Alam Raya Sekolahku, Sejahteralah Bangsaku" - Marjinal

No comments: