Monday, November 26, 2007

Panjat Tebing: Hobi Unik Berusia Ribuan Tahun

Jumat, 11 Juli 2003

Panjat Tebing
Hobi Unik Berusia Ribuan Tahun

Dalam sejarah, manusia selalu berusaha mengalahkan alam untuk survive.
Begitu juga dengan panjat tebing, yang lahir dari usaha manusia untuk
bertahan hidup di alam bebas.

Mungkin kita sudah biasa atau justru ikut melakukan hobi wall climbing
yang sekarang populer. Baik dalam bentuk lomba maupun sekadar mengisi
waktu kosong, hobi ini memang cukup mengasyikkan. Apalagi kalau di
sekolah kita disediakan papan panjat. Tidak heran kalau dari hobi ini
sudah banyak teman- teman kita yang menjalani wall climbing bukan lagi
sekadar hobi, tetapi sudah dalam tingkat yang lebih lanjut. Apalagi
kalau bukan ikut dalam sebuah kejuaraan, malah menjuarainya.

Wall climbing tersebut (mungkin sudah banyak yang tahu ya) merupakan
modifikasi dari hobi panjat tebing. Dari namanya sudah ketahuan kalau
dua hal ini dibedakan dari medianya; yang satu berdasarkan papan
buatan, sedangkan yang lain beneran tebing dari sebuah gunung atau
bukit.

Nah, panjat tebing tersebut merupakan subbagian dari mountaineering
(pendakian gunung), yaitu climbing yang dapat diartikan sebagai
pendakian pada tebing- tebing batu atau dinding karang yang
membutuhkan peralatan, teknik, dan metode-metode tertentu. Sebagai
bagian dari mountaineering atau mendaki gunung, panjat tebing tidak
dapat dipisahkan sejarahnya dari perjalanan panjat dan mendaki gunung.

Ribuan tahun

Kegiatan mendaki gunung ini mulai dilakukan manusia sejak berabad-abad
yang lalu. Dimulai sejak manusia harus melintasi bukit-bukit atau
pegunungan baik untuk melakukan peperangan atau pun ketika melakukan
tuntutan hidupnya. Sejarah yang dapat diketahui dari hal ini adalah
perjalanan Panglima Kerajaan Carthage, Hanibal, yang dilakukan di
pegunungan Alpen di tahun 500 SM. Juga petualangan yang dilakukan
Jenghis Khan yang melintasi pegunungan Karakoran dan Kaukasus untuk
menaklukan Asia Tengah. Atau pendakian Mount Argulle oleh para tentara
Perancis pada tahun 1442.

Dalam sejarah yang lebih maju, pendakian yang gemilang pertama kalinya
dilakukan pada tahun 1786, ketika Dr Paccard berhasil mencapai puncak
Mount Blanc (4087 m). Saat itu pendakian dan panjat tebing sudah
menjadi hobi atau olahraga.

Dalam babak selanjutnya, puncak-puncak Alpen mulai dijajaki para
penggemar olahraga alam bebas ini. Dan, memang puncak-puncak
pegunungan Alpen hanya bisa dipuncaki dengan mempergunakan
teknik-teknik memanjat tebing. Semakin populer ketika Sir Alfred
Willis pada tahun 1854 berhasil mencapai puncak Watterhorn (di Swiss,
3708 m). Pendakian ini menjadi batu loncatan terbentuknya perkumpulan
pendaki gunung tertua di dunia, British Alpine Club pada tahun 1857.

Sejak babak baru itu para pendaki semakin sering melakukan pendakian
menuju puncak-puncak gunung yang lebih tinggi dan mempunyai tingkat
tantangan yang lebih tinggi pula. Keberuntungan dan anugerah akhirnya
datang pada Edmunt Hillary dan Tenzing Norgay dalam suatu ekspedisi.
Ekspedisi yang dipimpin oleh John Hunt pada tahun 1953 tersebut
berhasil memuncaki Everest, sebuah puncak yang menjadi impian para
pendaki di dunia. Rangkaian-rangkaian ini merupakan titik temu bahwa
panjat tebing merupakan bagian dari kegiatan mendaki gunung. Karena
kegiatan memanjat tebing merupakan penunjang kegiatan mendaki gunung.

Olahraga berprestasi

Panjat tebing masuk ke Indonesia seiring dengan berkembangnya teknik
mendaki. Harry Suliztiarto, seorang mahasiswa Seni Rupa ITB,
memperkenalkan panjat tebing pada tahun 1976. Tepatnya ketika memanjat
tebing-tebing alam Citatah. Peristiwa ini kemudian menjadi tonggak
sejarah berdirinya organisasi kegiatan alam bebas yang mengkhususkan
pada kegiatan memanjat, dengan nama Skygers Amateur Rock Climbing
Group.

Pada tahun 1980 kegiatan panjat tebing mulai memasuki babak baru, di
mana kegiatan ini bukan lagi bersifat petualangan tetapi telah menjadi
olahraga prestasi. Perkembangan ini dimulai ketika diadakannya lomba
panjat tebing alam di tebing pantai Jimbaran Bali pada tahun 1987.

Nah, di tahun 1988 diperkenalkan deh dinding panjat tebing buatan
(wall climbing) yang langsung diperkenalkan oleh empat pemanjat dari
Perancis. Sekaligus membentuk wadah sebagai tempat menyalurkan
aspirasi dan hobi serta memanajemen kegiatan panjat tebing agar
berjalan dengan baik dengan nama Federasi Panjat Tebing Indonesia
(FPTI). Pada tahun 1990, untuk pertama kalinya diadakan lomba panjat
dinding buatan dengan tinggi papan lima belas meter yang menjadi awal
sejarah dimulainya lomba panjat tebing buatan di Indonesia sampai saat
ini.

Dasar-dasar panjat tebing

Namanya juga hobi panjat tebing, tentu saja tebing merupakan prasarana
dalam kegiatan panjat tebing. Pengetahuan dasar tentang tebing yang
harus diketahui antara lain: Bentuk tebing, bagian tebing yang dilihat
secara keseluruhan mulai dasar sampai puncak. Bagian-bagiannya antara
lain blank (bentuk tebing yang mempunyai sudut 90 derajat atau biasa
disebut vertikal), overhang (bentuk tebing yang mempunyai sudut
kemiringan antara 10-80 derajat), roof (bentuk tebing yang mempunyai
sudut 0 atau 180 derajat, terletak menggantung), teras (bentuk tebing
yang mempunyai sudut 0 atau 180 derajat, terletak menjorok ke dalam
tebing), dan top (bagian tebing paling atas yang merupakan tujuan
akhir suatu pemanjatan).

Lalu ada soal permukaan tebing yang merupakan bagian dari tebing yang
nantinya akan digunakan untuk berpegang dan berpijak dalam suatu
pemanjatan. Bagian ini di kategorikan menjadi tiga bagian: face
(permukaan tebing yang mempunyai tonjolan), slap/friction (permukaan
tebing yang tidak mempunyai tonjolan atau celah, rata, dan mulus tidak
ada cacat batuan), dan fissure (permukaan tebing yang tidak mempunyai
celah/crack).

Dengan mengenali pengenalan dasar atas medan yang hendak ditempuh,
para pemanjat akan langsung bisa mempersiapkan teknik penaklukannya
dan mengurangi tingkat kesulitannya.

Untuk memudahkan estimasi tingkat kesulitan tersebut, biasanya
digunakan sistem desimal yang dimulai dari angka lima (mengacu pada
standar tingkat kesulitan yang dibuat oleh Amerika).

Tingkat kesulitan 5,7-5,8 adalah tingkat kesulitan pemanjatan yang
amat mudah. Lintasan pemanjatan untuk pegangan dan pijakan sangat
banyak, besar, dan mudah didapat. Sudut kemiringan tebing belum
mencapai 90 derajat.

Tingkat kesulitan 5,9. Tingkat kesulitan pemanjatan yang mulai agak
sulit karena jarak antara pegangan dan pijakan mulai berjauhan tetapi
masih banyak dan besar.

Tingkat kesulitan 5,10. Pada tingkat ini pemanjatan mulai sulit karena
komposisi pegangan dan pijakan sudah bervariasi besar dan kecil. Jarak
antar celah dan tonjolan mulai berjauhan. Terdapat dua tumpuan tangan
dan satu tumpuan kaki, faktor keseimbangan mulai dibutuhkan.

Tingkat kesulitan 5,11. Tingkat kesulitan ini lebih sulit lagi karena
letak antara pegangan yang satu dengan pegangan yang lainnya berjauhan
dan kecil-kecil yang hanya bisa dipegang oleh beberapa jari saja,
kedua tungkai melakukan gerakan melebar agar kaki dapat bertumpu pada
tumpuan berikutnya. Keseimbangan tubuh sangat berpengaruh, bentuk
tebing yang dilalui pada lintasan ini terdapat variasi antara tebing
gantung dan atap.

Tingkat kesulitan 5,13-5,14. Jalur lintasan ini bervariasi antara
tebing gantung dan atap dengan satu tumpuan kaki dan satu tumpuan
tangan. Pemanjat mulai melakukan gerakan gesek (friction) dan bertumpu
pada ujung jari (edginh) bahkan harus mengaitkan tumit pada pijakan
(hooking).

Selain kriteria kesulitan ini, Negara lain juga membuat tingkat
kesulitan sesuai dengan penilaian masing-masing, antara lain Jerman,
Perancis, UIAA (Union Internationale des Association Alpines).

Etika panjat tebing

Seperti hobi atau olahraga lain, panjat tebing juga mempunyai etika
atau aturan yang disepakati oleh para pelaku hobi ini. Ruang lingkup
etika dalam panjat tebing terdiri dari empat hal.

Pertama, masalah teknik pembuatan jalur. Secara umum terdapat dua cara
dalam pembuatan jalur, yaitu aliran tradisional dan aliran modern.
Pembuatan jalur secara tradisional prinsipnya adalah membuat jalur
sambil memanjat. Teknik ini cenderung bernilai petualangan karena
lintasan yang dilewati sama sekali baru, tanpa pengalaman, tanpa
dicoba terlebih dahulu. Sementara itu, pembuatan jalur secara modern
terdiri dari dua cara. Pertama dengan menggunakan teknik tali tetap
(fix rope technique). Pada teknik ini, pembuatan jalur dapat dilakukan
dengan cara rappeling bolting atau ascending bolting. Terlebih dahulu
pada fix rope yang telah terpasang, sedangkan cara kedua mirip dengan
cara pertama, tetapi tidak dengan tali tetapi melainkan dengan
menggunakan top rope.

Lalu ada tentang masalah penanaman jalur. Siapa yang berhak memberi
nama pada suatu jalur tidak ada kesepakatan jelas yang mengaturnya. Di
Indonesia nama jalur merupakan suatu kesepakatan dari seorang atau
sekelompok pembuat jalur.

Masalah keaslian jalur juga masuk dalam poin etika panjat tebing.
Masalah keaslian jalur ini biasanya dikaitkan dengan banyaknya jumlah
pengaman tetap yang ada pada jalur tersebut. Misalkan satu jalur
setinggi lima belas meter dapat dipanjat hanya dengan menggunakan tiga
pengaman tetap, maka selanjutnya pemanjat yang kemudian memanjat harus
tetap menggunakan tiga pengaman yang pertama, tanpa ditambah atau pun
dikurangi, siapapun dia, karena ini secara harfiah telah menjadi jalur
resmi dan menjadi paten untuk jalur tersebut.

Dan, yang terakhir soal pengubahan bentuk permukaan tebing. Untuk
masalah yang satu ini, hampir semua pemanjat sepakat bahwa hal ini
haram hukumnya untuk dilakukan meski untuk menambah kesulitan atau
membuat jalur tersebut menjadi mudah. Tetapi, sebagian kecil kawasan
pemanjatan menerima perubahan ini, namun hanya pada permukaan tebing
yang tanpa cacat sama sekali agar kesinambungan jalur sebelumnya dan
sesudah tetap terjaga.

Dengan mengetahui segi-segi dasar (baik soal teknik atau
peraturan/etika), diharapkan seseorang mulai bisa mengenali hobi yang
sekarang juga jadi cabang olahraga ini. Tentu saja juga diharapkan
bisa menjadi salah satu aktivitas populer di kalangan anak muda.

KHUMAIDI TOHAR Keluarga Mahasiswa Pencinta Alam Eka Citra Universitas
Negeri Jakarta

Design By KCM
Copyright (c) 2002 Harian KOMPAS


--
[h][A][n][u][N][g] - living in the beautiful life

11 mdpl, 0°57'166" LS, 122°47'287" BT
"Semua Orang itu Guru, Alam Raya Sekolahku, Sejahteralah Bangsaku" - Marjinal

No comments: