Monday, June 4, 2007

Fwd: [Perbendaharaan List] Dari negeri seberang...

---------- Forwarded message ----------
From: affanz_sugoi <affanz_go@yahoo.com>
Date: Jun 4, 2007 5:54 PM
Subject: [Perbendaharaan List] Dari negeri seberang...
To: perbendaharaan-list@yahoogroups.com

____________________________________________________
Atas izin penulis.
Courtesy of Yuli Setyo Indartono, Mahasiswa S3 di Graduate School of
Science and Technology, Kobe University

Tulisan ini tidak bertutur tentang legenda Bangsa Samurai dahulu
kala, namun berkisah tentang Jepang saat ini. Dongeng di sini berarti
sesuatu yang mengherankan bila disandingkan dengan kondisi keseharian
di tanah air. Meski Jepang bukanlah negeri dongeng yang sempurna, ada
nilai-nilai kebaikan universal terealisir yang menarik untuk disimak
dan diaplikasikan di tanah air tercinta. Tulisan ini merupakan
fragmentasi keseharian saya, istri, dan beberapa kawan dekat kami di
Jepang.
01. Kantor pemerintahan dan pelayanan publik

Anda pernah melihat sekelompok semut? Nah, begitulah kira-kira
situasi kantor pemerintahan daerah di Jepang. Tidak ada "semut" yang
diam termangu, apalagi membaca koran; seluruh karyawan kantor
senantiasa bergerak, dari saat bel mulai kerja hingga pulang larut
malam. Tak habis pikir, saya tatap dalam-dalam "semut-semut" yang
sedang bekerja tersebut; kadang kala saya curi pandang: jangan-jangan
mereka sedang ber-internet ria seperti kebiasaan saya di kampus. Ingin
saya mengetahui makanan apa gerangan yang dikonsumsi para pegawai itu
sehingga mereka sanggup berjam-jam duduk,
berkonsentrasi, dan menatap monitor yang bentuknya tidak berubah
tersebut. Tata ruang kantor khas Jepang: mulai pimpinan hingga staf
teknis duduk pada satu ruangan yang sama - tanpa sekat; semua bisa
melihat bahwa semuanya bekerja. Satu orang membaca koran, pasti akan
ketahuan. Aksi yang bagi saya dramatis ini masih ditambah lagi
dengan aksi lari-lari dari pimpinan ataupun staf dalam melayani
masyarakat. Ya, mereka berlari dalam arti yang sesungguhnya dan
ekspresi pelayanan yang sama seriusnya. Wajah mereka akan menatap anda
dalam-dalam dengan pola serius utuh diselingi dengan senyuman. Saya
hampir tak percaya dengan perkataan kawan saya yang mempelajari
sistem pemerintahan Jepang, bahwa gaji mereka - para "semut" tersebut
- tidak bisa dikatakan berlebihan. Sesuai dengan standard upah di
Jepang. Yang saya baca di internet, mereka memiliki kebanggaan
berprofesi sebagai abdi negara; kebanggaan yang menutupi
penghasilan yang tidak berbeda dengan profesi yang lain.

Menyandang status mahasiswa, saya mendapatkan banyak kemudahan dan
fasilitas dari Pemerintah Jepang. Untuk mengurus berbagai keringanan
tersebut, saya harus mendatangi kantor kecamatan (kuyakusho) atau
walikota (shiyakusho) setempat. Beberapa dokumen harus diisi; khas
Jepang: teliti namun tidak menyulitkan. Dalam berbagai kesempatan
saya harus mengisi kolom semacam: apakah anda melakukan pekerjaan
sambilan (arubaito = part time job), apakah anak anda tinggal bersama
anda (untuk mengurus tunjangan anak), dsb. Dan dalam banyak hal,
pertanyaan-pertanyaan tersebut cukup dijawab dengan lisan: ya atau
tidak. Tidak perlu surat-surat pembuktian dari "RT, RW,
Kelurahan" dsb. Saya percaya bahwa sistem yang baik selalu
mensyaratkan kejujuran. Sistem berlandaskan kejujuran akan cepat maju
dan meningkat, sekaligus sangat efisien. Mengetahui bahwasanya saya
adalah orang asing yang kurang lancer berbahasa Jepang, saya
mendapatkan "fasilitas" diantar kesana kemari pada saat mengurus
berbagai dokumen untuk mengajukan keringanan biaya melahirkan istri
saya. Hal ini terjadi beberapa kali. Seorang senior saya pernah
mengatakan, begitu anda masuk ke kantor pemerintahan di Jepang, maka
semua urusan akan ada (dan harus ada) solusinya. Lain hari saya
membaca prinsip "the biggest (service) for the small" yang kurang
lebih bermakna pelayanan dan perhatian yang maksimal untuk orang-orang
yang kurang beruntung. Pameo "kalau ada yang sulit, mengapa
dipermudah" tidak saya jumpai di Jepang. Pada suatu urusan di kantor
walikota (shiyakusho) saya diminta untuk menyerahkan surat pajak
penghasilan. Saya mengatakan bahwa saya sudah pernah, di masa yang
lalu, menyerahkan surat yang sama ke bagian lain di kantor tersebut.
Saya sudah siap dan pasrah seandainya mereka menjawab bahwa saya harus
mengurus kembali surat tersebut ke kantor kecamatan sebelum saya
pindah ke kota ini. Agak tertegun sekaligus lega mendapat jawaban
bahwa staf divisi tersebut akan mendatangi divisi lain tempat saya
pernah menyerahkan dokumen pajak saya sekian bulan yang lalu. Dia akan
mengkopinya dari sana . Ambil jalan yang mudah, namun tetap
mengedepankan ketelitian. Itulah yang saya jumpai di Jepang. Berstatus
mahasiswa yang berkeluarga (baca: harus berhemat), kami sempat
terkejut melihat tagihan listrik bulanan yang melonjak hingga 10 kali
lipat. Setelah melakukan pengusutan sederhana, tahulah kami bahwa ada
kesalahan pencatatan meter listrik oleh petugas - sebuah kesalahan
yang tidak umum di negeri ini. Segera saat itu pula saya telpon
perusaah listrik wilayah Kansai untuk mengkonfirmasikan kesalahan
tersebut. Berkali-kali kata sumimasen (yang bisa pula berarti maaf)
keluar dari mulut operator telepon. Saya menganggapnya sudah selesai,
karena operator berjanji untuk segera melakukan tindak lanjut. Belum
berapa lama meletakkan tas di laboratorium pagi
itu, istri menelpon dari rumah perihal kedatangan petugas listrik
untuk meminta maaf dan menarik slip tagihan. Setibanya di rumah malam
harinya, baru tahulah saya bahwa yang datang bukanlah sekelas petugas
lapangan (dari kartu nama yang ditinggalkannya) dan tahulah saya bahwa
dia tidak sekedar meminta maaf, karena bingkisan berisi sabun dan
shampo merk cukup terkenal menyertai kartu nama petugas tersebut. Saya
hanya berharap, waktu itu, bahwa petugas pencatat yang keliru tidak
akan bunuh diri. Karena kekeliruan dalam bekerja, secara umum,
menyangkut kehormatan di Negara ini.
Saya mengetahui dari sebuah perusahaan penyalur tenaga kerja di
Jepang akan sebuah paradigma "Bila anda datang ke kantor pada pukul
09.00 (jam resmi masuk kantor di Jepang) dan pulang pada pukul 17.00
(jam resmi pulang kantor di Jepang), maka atasan dan kawan-kawan anda
akan mengatakan bahwa anda tidak memiliki niat bekerja". Saya
membuktikan pameo tersebut, karena setiap hari saya bersepeda
melintasi kantor walikota (shiyakusho). Sebagian besar lampu di kantor
itu masih menyala hingga pukul 20.00. Dan beberapa kali saya jumpai
staf kantor tersebut memasuki stasiun
kereta, juga sekitar pukul 20.00. Hal ini berarti, mereka semua
memiliki niat bekerja versi Jepang.

02. Pasar, pertunjukan kejujuran dan perhatian

Suatu kali pernah kami membeli sebungkus buah-buahan dengan bandrol
murah; favorit bagi kalangan mahasiswa asing seperti saya. Saya sudah
mengetahui bahwa ada sedikit cacat (gores atau bekas benturan) pada
permukaan beberapa buah-buahan - sesuai dengan harga murah yang
disematkan padanya. Pada saat kami hendak membayar buah tersebut,
penjual buah buru-buru menerangkan dan menunjuk-nunjuk kondisi
sedikit cacat pada beberapa buah-buahan tersebut, dan kembali
memastikan niat kami membelinya. Sembari tersenyum, tentu saja kami
mengatakan "daijobu" (tidak apa-apa), karena kami sudah melihatnya
dari awal. Beberapa kawan kami mengiyakan pada saat kami menceritakan
kejadian yang bagi kami cukup mengherankan ini; ini berarti sikap
jujur tersebut tidak dimonopoli oleh satu-dua pedagang. Mereka
mengerti betul bahwa kejujuran adalah prasyarat utama keberhasilan
dalam berdagang. Tidak perlu meraup untung sesaat
dalam jumlah besar, bila nantinya akan kehilangan pelanggan.

Hingga hari ini, pada saat bertransaksi di kasir, kami selalu
menerima uang kembalian dalam jumlah yang utuh - sesuai dengan yang
tertera pada slip pembayaran. Tidak kurang, meski hanya satu yen (mata
uang terkecil di Jepang). Tidak ada "pemaksaan" untuk menerima permen
sebagai pengganti nominal tertentu. Selain kagum dengan praktek
berdagang yang baik ini, kami sekaligus kagum dengan sistem perbankan
Jepang yang mampu menyediakan uang recehan untuk pedagang dan vending
machine (mesin penjual otomatis) di se-antero Jepang. Meski bagi
sebagian kalangan, uang kembalian terlihat "sepele"; hal ini bisa
menyebabkan ketidakikhlasan pembeli terhadap transaksi jual-beli.

Istri saya selalu berbelanja bersama anak-anak; dan karena
"keriangan" anak-anak, pada beberapa kasus, pak telur atau buah-buahan
bisa meluncur ke lantai. Dua kali terjadi beberapa telur dalam satu
pak pecah akibat keriangan anak-anak, dan satu kali melibatkan buah
yang mudah penyok. Pada semua kejadian tersebut, petugas supermarket
melihat dan segera mengganti barang-barang tersebut dengan yang baru.
Padahal kami datang dengan wajah lelah dan pasrah untuk membayarnya,
karena kami menyadari benar bahwa ini adalah kelalaian kami. Bahkan
pada satu kasus, barang tersebut sudah dibayar istri saya. Pada saat
kami menerangkan bahwa ini semua ketidaksengajaan anak-anak kami,
dengan ramah petugas supermarket menyahut "daijobu yo" (tidak
apa-apa).

Pada saat berkesempatan mengunjungi sebuah negara lain di Asia untuk
sebuah konferensi, saya baru menyadari keramahtamahan petugas
supermarket di Jepang. Di Jepang, bila anda menanyakan keberadaan
sebuah barang, maka petugas tidak sekedar memberi arah petunjuk pada
anda, namun dia akan mengantarkan anda hingga berjumpa dengan barang
yang dicari; dan petugas baru akan meninggalkan anda setelah
memastikan bahwa everything is ok. Hal ini tidak berarti bahwa jumlah
petugas supermarket di Jepang demikian banyaknya hingga mereka
berkesempatan jalan-jalan di dalam supermarket yang sangat besar;
justru sebaliknya, jumlah petugas selalu sesuai benar dengan
kebutuhan, dan mereka selalu bergerak - seperti semut. Di sebuah toko
elektronik, seorang petugas yang menjelaskan spesifikasi computer yang
anda tanyai adalah juga kasir tempat anda membayar serta petugas yang
melakukan packing akhir terhadap komputer yang anda beli .

03.Polisi, sistem yang bekerja dan melindungi

Kami sempat terheran-heran manakala pertama menginjakkan kaki di Kobe
demi melihat postur polisi dan kendaraannya yang tidak lebih gagah
dibandingkan dengan petugas pos di Indonesia. Benar, ini bukan
metafora. Memang ada pula polisi di tingkat prefecture (propinsi) yang
gagah mengendarai motor besar bak Chip - ini jumlahnya sedikit. Namun
polisi kota besar seukuran Kobe - salah satu kota metropolis di
Jepang, posturnya tidak segagah polisi yang sering saya jumpai di
jalan-jalan Republik. Anda tentu menganggap saya sedang bergurau bila
saya mengatakan bahwa motor polisi di Kota Kobe dan Ashiya
serupa benar dengan bebek terbang tahun 70-an. Saya tidak bergurau.
Ini Kobe dan Ashiya, dua kota di negara macan ekonomi dunia. Bebek
terbang tersebut dilengkapi dengan boks besi di bagian belakang -
mirip dengan petugas pengantaran barang kiriman. Namun, sekali bapak
atau mbak polisi ini menghentikan kendaraan, tidak pernah saya
melihat ada diantaranya yang berusaha lari. Tidak ada gunanya lari di
negara dengan sistem network yang sangat baik ini. Ke mana pun anda
lari, kesitu pula polisi dengan uniform yang serupa akan menghampiri
anda. Pelan namun pasti. Saya akhirnya mafhum, bahwa polisi di sini
lebih pada fungsi control dan pengambilan keputusan (decision maker) –
kedua fungsi ini memang tidak mensyaratkan badan yang harus berotot
dan berisi. Tak heran saya melihat mas-mas polisi muda berkacamata
melakukan patroli dengan bebek terbangnya. Mereka hanya perlu melihat,
mengawasi, dan mengambil keputusan. Selebihnya, sistem yang akan
bekerja.

04.Lingkungan hidup dan transportasi

Jepang bukanlah negara dengan penduduk kecil. Populasi negara ini
hampir separuh populasi Republik tercinta. Di sisi lain, wilayah
negara ini didominasi oleh pegunungan yang sulit untuk dihuni.
Pegunungan yang tetap hijau, membuat saya menduga bahwa Pemerintah
Jepang memang sengaja membiarkan kehijauan melekat pada daerah
pegunungan tersebut. Tokyo adalah kota besar dengan jumlah penduduk
terbesar se-dunia, mengalahkan New York dan berbagai kota besar di
mancanegara. Besarnya penduduk, sempitnya dataran yang bisa dihuni,
dan tingginya tingkat ekonomi mensiratkan dua hal: kerapian dan
kebersihan. Anda akan sangat kesulitan menjumpai sampah anthrophogenik
(akibat aktivitas manusia) di jalan-jalan di Jepang. Kemana mata anda
memandang, maka kesitulah anda akan tertumbuk pada situasi yang bersih
dan rapi. Orang Jepang meletakkan sepatu/alas kaki dengan tangan,
bukan dengan kaki ataupun dilempar begitu saja. Mereka menyadari bahwa
ruang (space) yang mereka miliki tidak luas, sehingga semuanya harus
rapi dan tertata. Sepatu dan alas kaki diletakkan dengan posisi yang
siap untuk digunakan pada saat kita keluar ruangan. Hal ini sesuai
dengan karakteristik mereka yang senantiasa well-prepared dalam
berbagai hal. Kadang saya menjumpai kondisi yang ekstrim; seorang
pasien yang sedang menunggu giliran di depan saya berbicara dan
menggerakkan anggota tubuhnya sendiri. Saya tahu bahwa ruang periksa
di hadapan kami bukan ditempati psikiater ataupun neurophysicist.
Belakangan saya tahu dari kawan yang belajar di bidang kedokteran,
boleh jadi pasien tersebut sedang mempersiapkan dialog dengan
dokternya.

Transportasi di Jepang didominasi oleh angkutan publik, baik bus,
kereta (lokal, ekspres, super ekspres), shinkansen, dan pesawat
terbang (antar wilayah). Baiknya sistem dan sarana transportasi di
Jepang membuat anda tidak perlu berkeinginan untuk memiliki
kendaraan sendiri - kecuali bila anda tinggal di country-side yang
tidak memiliki banyak alat transportasi umum. Kereta dan shinkansen
(kereta antar kota super ekspres) mendominasi moda transportasi di
Jepang. Sebuah sumber yang saya ingat menyebutkan bahwa kepadatan lalu
lintas kereta di Jepang adalah yang tertinggi di dunia. Di Jepang,
kereta dan shinkansen digerakkan menggunakan listrik. Hal ini tidak
menyebabkan polusi udara di perkotaan, karena listrik diproduksi
terpusat. PLTN sebagai salah satu sumber pemasok utama energi listrik
di Jepang, tentu saja, juga berkontribusi pada rendahnya polusi udara
karena, praktis, PLTN tidak mengemisikan CO2.Nasehat "tengoklah dulu
kiri dan kanan sebelum menyeberang jalan" mungkin tidak sangat penting
untuk diterapkan bila anda menyeberang di tempat yang telah disediakan
di Jepang. Anda cukup menunggu
lambang pejalan kaki berubah warna menjadi hijau; insya Allah anda
akan selamat sampai ke seberang - tanpa perlu menengok kiri dan kanan.
Saat berkesempatan mengunjungi kota besar lain di Asia, kebiasaan
menyeberang ala Jepang sempat membuat saya hamper
terserempet motor; lampu hijau saja ternyata tidaklah cukup

05.Kesehatan dan rumah sakit

Jepang mengerti benar bahwa orang-orang yang sehatlah yang lebih
mampu memajukan bangsa dan negaranya. Mahasiswa di tempat saya
belajar, Kobe University, wajib melakukan pemeriksaan kesehatan
(gratis) setahun sekali. Fasilitas kesehatan di Jepang mendapat
perhatian yang tinggi dari pemerintah. Sebagai orang asing, mahasiswa
pula, kami dianjurkan untuk mengikuti program asuransi nasional.
Dengan mengikuti program ini, kami hanya perlu membayar 30% dari biaya
berobat. Dari yang 30% tersebut, sebagai mahasiswa asing, saya akan
mendapatkan tambahan potongan sebesar 80% (yang belakangan turun
menjadi 35%) dari Kementrian Pendidikan Jepang. Berstatuskan
mahasiswa, kami membayar premi asuransi per-bulan yang jauh lebih
kecil dibandingkan dengan orang kebanyakan. Dari laporan rutin yang
dikirimkan oleh pihak asuransi kepada kami, tahulah saya bahwa ongkos
berobat kami selalu (jauh) lebih besar dari premi asuransi yang saya
bayarkan setiap bulannya. Berbekal kartu asuransi nasional, datang ke
rumah sakit ataupun ke klinik swasta bukan lagi menjadi hal yang
menakutkan bagi keluarga kami di Jepang. Jangan membayangkan bahwa
pihak rumah sakit atau klinik swasta akan memberikan perlakuan yang
berbeda kepada para pemegang kartu asuransi – apalagi untuk kami yang
mendapatkan kartu tambahan khusus keluarga tidak mampu. Para dokter
dan perawat melayani dengan keramahan yang tidak berkurang serta
prosedur yang sama sederhananya. Keramahan di sini berarti keramahan
yang sebenar-benarnya. Baik anda kaya ataupun miskin, proses masuk dan
keluar dari rumah sakit di Jepang adalah sama mudahnya. Saat istri
melahirkan di rumah sakit pemerintah di Ashiya, saya disodori formulir
yang berisi opsi pembayaran: tunai, lewat bank, dll. Tidak menjadi
sebuah keharusan bagi seorang pasien untuk menyelesaikan kewajiban
pembayaran di hari dia harus keluar dari rumah sakit. Alhamdulillah
kami mendapatkan keringanan biaya melahirkan dari Pemerintah Kota
Ashiya; selain bisa melenggang dari rumah sakit tanpa bayar pada hari
itu, tagihan dari Kantor Walikota (setelah dipotong subsidi dari
pemerintah) juga baru datang dua bulan kemudian. Saling percaya adalah
kuncinya.


--
[H][a][n][u][n][G] - living in the beautiful life
665/SPA/01
YM: hanung_665

http://www.bikepics.com/members/hanung665/06raider150/
11 mdpl, 0°57'166" LS, 122°47'287" BT

"Semua Orang itu Guru, Alam Raya Sekolahku, Sejahteralah Bangsaku" - Marjinal

No comments: