From: Chalendra <chalendra.ranu@singgar-mulia.co.id>
Date: Aug 7, 2007 8:10 AM
Subject: Jurnalis Yahudi vs Pak Haji
Seorang jurnalis Yahudi*, Leopold Weiss:
Pemandangan kaum muslimin yang sedang shalat menjadi benang pertama
dalam kisah keislamannya. Dia menuturkan kisah keislamannya dalam
bukunya yang berjudul The Road to Mecca (Jalan ke Mekah).
Dia bercerita, "Pada musim gugur tahun 1922, aku tinggal di sebuah
rumah di kota tua al-Quds. Seringkali aku duduk-duduk di dekat jendela
yang memanjang di atas halaman luas di belakang rumah itu. Halaman itu
milik seorang laki-laki Arab yang biasa dipanggil 'Pak Haji'. Dia
sering menyewakan keledai-keledainya untuk tunggangan dan angkutan
barang. Dia menjadikan sebagian halaman itu sebagai tempat singgah
bagi kafilah-kafilah. Di siang hair, tubuh-tubuh onta gemuk biasa
menderum di halaman tersebut. Sejumlah laki-laki selalu ramai, serius
mengurusi unta-unta dan keledai-keledai itu. …
Pak Haji sendiri selalu mengumpulkan mereka beberapa kali di siang
hari untuk shalat. Mereka semua berdiri dalam satu shaf yang
memanjang, dan Pak Haji yang menjadi imam. Mereka ibarat sebuah
pasukan kalau dilihat dari gerakan-gerakan mereka. Semuanya serempak
membungkuk ke arah Mekah, kemudian menyungkur sujud. Dahi-dahi mereka
menempel ke bumi. Mereka mengikuti ucapan-ucapan pelan pemimpin
mereka. Dia berdiri di antara rukuk dan sujud, dengan meletakkan kedua
kakinya. Yang tak beralas di atas sajadahnya yang khusus untuk shalat,
meletakkan kedua tangannya di atas dadanya, dan menggerak-gerakkan
bibirnya tanpa suara., tenggelam dalam kekhusyukan yang dalam. Engkau
akan dapat melihat kalau dia shalat dengan segenap jiwanya. Aku
benar-benar dibuat gelisah melihat shalat yang begitu mendalam diikuti
gerakan-gerakan tubuh yang otomatis.
Maka, pada suatu hari aku bertanya kepada Pak Haji, karena dia paham
sedikit-sedikt bahasa Inggris., "Apakah Anda benar-benar yakin bahwa
Allah melihat penghormatan-penghormatan yang Anda tampakkan kepada-Nya
dengan mengulang-ulang rukuk dan sujud itu? Bukankah lebih tepat kalau
seseorang memisahkan lalu shalat kepada Allah dengan hatinya? Untuk
apa semua gerakan-gerakan tubuh Anda itu?" Hampir-hampir aku tidak
mampu melontarkan pertanyaan-pertanyaan itu tanpa merasa bersalah dan
mencela diri sendiri. Hal itu karena aku tidak berniat melukai
perasaan orang tua yang salaeh ini.
Akan tetapi, Pak Haji tidak menampakkan sedikit pun tanda-tanda
tersinggung. Malah mulutnya melebarkan senyuman. Dia menjawab, "Kalau
begitu, dengan cara apakah kita menyembah Allah? Bukankah jasad dan
ruh itu Allah ciptakan bersamaan? Jika demikian halnya, tidak wajibkah
manusia shalat dengan jasadnya sebagaimana dia shalat dengan ruhnya?
Dengarlah, saya akan memahamkan Anda mengapa kami kaum muslimin
melaksanakan shalat sebagaimana yang kami lakukan selama ini. Kami
mengarahkan wajah-wajah kami ke arah Ka'bah, Baitullah al-Haram, di
Mekah, dan seluruh kaum muslimin di manapun mereka berada juga
menghadap ke arah Ka'bah dalam shalat mereka. Kami ini seperti satu
tubuh. Allahlah yg menjadi pusat pikiran kami saat itu.
Pertama-tama kami berdiri lurus, lalu membaca sejumlah ayat dari
al-Quran al-Karim dengan penuh keyakinan bahwa ia adalah firman Allah
yang diturunkan kepada manusia. Maksudnya agar kami menjadi
orang-orang yang selalu lurus dan ridha dalam kehidupan dunia.
Kemudian—untuk mengingatkan diri-diri kami—kami mengucapkan bahwa
tidak ada satu pun yang berhak disembah kecuali Allah. Lalu kami rukuk
karena kami menganggap Allah ada di atas segala sesuatu. Kami memuji
kebesaran dan keagungan-Nya. Sesudah itu kami sujud meletakkan
dahi-dahi kami ke tanah dengan penuh kesadaran bahwa kami asalnya
tidak ada dan berasal dari tanah, dan bahwa Dialah yang menciptakan
kami. Dia Tuhan kami Yang Mahatinggi. Lalu kami mengangkat wajah kami
dari bumi dan duduk berdoa kepada-Nya dengan harapan Dia mengampuni
dosa-dosa kami, mencurahkan rahmat-Nya kepada kami, memberi hidayah ke
jalan-Nya yang lurus, dan melimpahi kesehatan dan rezeki kepada kami.
Kemudian kami sujud untuk kedua kalinya ke bumi, meletakkan dahi-dahi
kami ke tanah di hadapna keagungan Zat Yang Maha Esa lagi Mahatunggal.
Setelah itu, kami duduk meluruskan punggung kami, berdoa kepada Allah
dengan harapan Dia melimpahkan shalawat kepada Nabi Muhammad saw. Yang
telah menyampaikan risalah-Nya kepada kami, dan kepada seluruh Nabi
sebelum beliau, serta memberkati kami dan seluruh orang yang mengikuti
jalan-Nya.
Kami memohon kepada-Nya agar melimpahkan kepada kami kebaikan di dunia
dan kebaikan di akhirat. Akhirnya, kami memalingkan wajah kami ke
kanan dan ke kiri seraya berucap: Assalamu'alaikum warahmatullahiwa
barakatuhu, memberi salam kepada seluruh orang saleh di mana pun
mereka berada."
Kemudian Muhammad Asad (Leopold Weiss) berkata, "Beberapa tahun
kemudian, aku menyadari bahwa Pak Haji dengan penjelasan yang panjang
lebar itu telah membukakan pintu awal buatku untuk masuk Islam . Akan
tetapi, sampai saat itu, yaitu sebelum aku dipenuhi pikiran bahwa
Islam suatu ketika mungkin menjadi agamaku, aku mulai merasakan
ketenangan yang tidak seperti biasanya setiap kali aku melihat—dan
sangat sering aku melihat– seorang laki-laki berdiri dengan kaki
telanjang di atas sajadahnya, atau di atas tikar dari daun kurma, atau
di atas tanah kosong, bersedekap dan menundukkan kepalanya, tenggelam
dengan urusan dirinya, lupa dengan segala yang sedang terjadi di
sekelilingnya, baik itu terjadi di salah satu masjid atau di tepi
sebuah jalan yang ramai. Laki-laki yang percaya diri."
--
[h][A][n][u][N][g] - living in the beautiful life
YM: hanung_665
11 mdpl, 0°57'166" LS, 122°47'287" BT
"Semua Orang itu Guru, Alam Raya Sekolahku, Sejahteralah Bangsaku" - Marjinal
No comments:
Post a Comment