From: ANTO <daniel@indonesia.fns.co.id>
Date: Dec 14, 2005 9:55 AM
Subject: [highcamp the adventures] Mendaki Gunung, Gaya Hidup Seorang Fotografer
To: Pendaki@yahoogroups.com, highcamp@yahoogroups.com
Cc: nanda devi <nanda_wn@yahoo.com>
Mendaki Gunung, Gaya Hidup Seorang Fotografer
Tulisan lama juga. Sebagian dimuat di Bulletin Mapala UI dan Majalah
Intisari, Oktober 1997.
Mei 1997. "SAYA punya banyak teman di Indonesia," kata pria
berperawakan langsing kelahiran Invermere, British Columbia 18 Oktober
1952 ini. Sekilas tampangnya tidak mengesankan seorang pendaki yang
memiliki reputasi. Wajahnya bersih, tidak ditumbuhi berewok dan
janggut seperti kebanyakan pendaki terkenal. Dia terkesan agak pendiam
namun ternyata jauh dari kesan angkuh. Padahal berkat dedikasinya,
jarang ada pendaki mancanegara yang asing dengan namanya. Paling tidak
dalam dua dekade terakhir.
Saya bertemu Patrick Alan Morrow atau biasa disapa 'Pat' yang ditemani
istrinya Baiba, di kediaman pasangan suami-istri Adi Seno-Diah Bisono
di Kebon Jeruk.
Kecintaan pada gunung dan alam terbuka membuat Patrick Alan Morrow,
lelaki Kanada ini, tidak bimbang memilih udara petualangan sebagai
jalan hidup. Sosoknya sedikit unik bila melihat kenyataan jarang ada
orang mendapat rejeki di atas rata-rata dari kegiatan 'bertetangga
dengan maut' ini. Biasanya dia memotret untuk Equinox, majalah sains
dan alam terbuka terbitan Kanada. Tapi tulisan dan foto-foto karyanya
juga sering muncul menghiasi beberapa majalah luar negri. Seperti
Action Asia (Hongkong), Yama-kei (Jepang), Geo (Australia), Climbing,
Outside (AS), Montana dan lain-lain.
Kunjungan ke Indonesia Maret-April lalu, bagi lelaki yang merasa
terlambat baru mulai menggauli dunia pendakian di usia 16 ini,
seingatnya adalah yang ketiga kali. Agak beda dengan dua yang
terdahulu, kali ini dia tidak berniat mendaki. Setelah beberapa hari
di Jakarta, Pat bersama Baiba kemudian menuju Ujungpandang dan Manado.
Di dua kota itu mereka membuat rekaman video mengenai Canadian
8-Project atau proyek-proyek untuk kepentingan masyarakat yang dananya
disokong pemerintah Kanada, diantaranya proyek air minum.
"Kami waktu itu cuma sampai Nabire," kata Pat mengenai kedatangannya
yang pertama ke Indonesia. Ketika itu di tahun 1984, Pat dan Baiba
berniat mendaki puncak Carstensz Pyramid di Pegunungan Sudirman, Irian
Jaya. Tapi apa mau dikata. Gara-gara ijin mendaki tidak berhasil
diperoleh, saat itu langkah mereka cuma sampai ibukota Kabupaten
Paniai itu.
"Mengurus ijin pendakian sebuah gunung sering bukan perkara gampang.
Untuk mendaki Everest misalnya. Menunggu ijin keluar bisa
bertahun-tahun. Lagipula banyak gunung dianggap penting karena
terletak dekat perbatasan dua negara. Contohnya Everest di perbatasan
Tibet-Nepal atau Aconcagua di perbatasan Chile-Argentina. Perijinan,
juga biaya, memang biasa jadi halangan. Umumnya pendaki berpengalaman
sudah paham bahwa salah satu bagian tersulit dari pendakian gunung
adalah bagaimana caranya mencapai kaki gunung itu," tutur Pat panjang
lebar.
Gagal di tahun 1984, alhasil baru dua tahun kemudian dia berhasil
melunasi hutang mendaki Carstensz. Ditemani Adi Seno, dia menginjak
puncak bersalju abadi di dekat garis ekuator itu.
Dari Canadian Rockies
Pat Morrow menjalani masa kanak-kanak di British Columbia, Kanada.
Sebuah daerah bergunung-gunung yang dulunya homeland suku Indian
Kootenay. Di waktu luang, ayahnya sering mengajak Pat mancing dan
berburu. Rumah mereka berada di pegunungan sehingga tiap kali keluar
rumah mereka harus hiking menyusuri jalan setapak. "Di masa-masa itu
saya mulai belajar bagaimana jalan di gunung, tapi belum untuk
mendaki," katanya. Rasa ingin tahunya yang besar sebagai seorang anak
terpuaskan dengan berada di luar rumah. Hal itu membuatnya gembira.
Udara pegunungan yang bersih, bau tanah, harum bunga-bunga liar di
tepi hutan serta kemilau keperakan dari lidah salju di lereng dan
puncak gunung, seakan-akan memberi inspirasi baginya.
Dari pengalaman menemani sang ayah berburu, Pat mulai tergoda mendaki
gunung-gunung bersalju di Canadian Rockies, sebutan untuk Pegunungan
Rocky di wilayah Kanada, yang sebelum itu cuma bisa dipandanginya dari
jauh. Mulailah dia naik ke sebuah gunung setinggi 3000-an meter. Dan
Pat mendapat pelajaran pertamanya. "Pengalaman pertama kali mendaki
ini mulai menumbuhkan keyakinan dalam diri saya tentang apa yang mampu
saya lakukan dan apa yang tidak," katanya.
Berhasil sampai ke puncak, waktu turun dia jadi ketagihan. Kemudian
Pat mendaki gunung itu berkali-kali jika ada kesempatan. Jiwa mudanya
seolah mengacuhkan bahaya yang mungkin timbul. "Saya waktu itu mendaki
di sembarang musim. Tidak peduli lagi musim panas atau musim dingin.
Pokoknya mendaki dan mendaki. Padahal di musim dingin suhu di atas
gunung itu biasanya cukup ekstrim, bisa sampai - 200 Celcius. Meski
tidak punya pengetahuan memadai bagaimana mendaki dengan aman, saya
berusaha survive. Malah saya tidak bawa sleeping bag. Untung waktu itu
saya tidak mati," kisahnya sambil tertawa mengenang masa remajanya.
Gara-gara kebandelannya, Pat pernah kena frostbite pada ibu jari kaki
kanan. Frostbite atau radang beku akibat sengatan udara dingin
biasanya menyerang ujung-ujung jari yang tidak terlindung dengan baik.
Kalau sampai parah dan sel-sel dagingnya mati, sering tak ada pilihan
lain daripada dibiarkan membusuk. Harus diamputasi. Untung lagi Pat
tidak mengalami ini meski bekas kehitaman di jempol kaki kanannya itu
masih ada sampai sekarang. "Sampai sekarang masih sensitif pada udara
dingin," katanya.
Mendaki gunung secara serius, artinya dipersiapkan dengan baik karena
mengerti resiko, mulai dilakoni Pat di Bugaboo Spire, gunung di
Purcell Mountain Range, British Columbia. Itu di tahun 1969. Untuk
mencapai puncak gunung mirip jari-jari mengacung ke langit itu tidak
bisa cuma dengan jalan kaki. Para pendaki mesti membekali diri dengan
tehnik rock climbing agar bisa melewati medan campuran salju dan batu
granit yang terjal. Karena itu Pat juga menguasai rock climbing dengan
baik sekali.
Di tahun 1978 kegetolan trekking, mendaki sambil motret di seputar
Canadian Rockies jadi modal bagi Pat untuk menulis buku. Bersama Anne
Edwards dan Arthur Twomey, dia menyusun panduan wisata trekking,
berkemah dan mendaki ke Purcell Mountain Range serta taman-taman
nasional sepanjang British Columbia-Alberta. Buku setebal 103 halaman
yang dilengkapi foto-foto menarik itu diterbitkan Douglas & McIntyre
Publishers di Vancouver. Judulnya: Exploring the Purcell Wilderness.
Kemampuan menulis buku ini kemudian dikembangkan Pat untuk menulis
kisah-kisah petualangannya. Buku-bukunya yang lain diantaranya The
Yukon, Adventures in Photography, Himalayan Passages dan Beyond
Everest.
Buku, foto dan banyak kisah perjalanan Pat yang dimuat berbagai
majalah memberi bukti bahwa dia bukan sekedar petualang yang nyambi
jadi penulis. Pat memang profesional di kedua bidang itu. Dasar
fotografi diperolehnya setelah selama dua tahun belajar pada sebuah
sekolah fotografi di Banff, Alberta. Modal lain, diploma jurnalistik
yang diraihnya di Calgary. Tapi kemahiran memotret dan menulis
menurutnya justru terasah tajam dengan seringnya dia jalan-jalan
sembari praktek langsung. Pat, agaknya tipe orang yang selalu belajar
dari pengalaman.
Dia lalu memberi contoh seorang temannya di Kanada, fotografer dengan
spesialisasi pada mountain landscape. Sudah lebih dari 20 judul
bukunya diterbitkan, padahal orang itu tidak pernah sekolah fotografi.
"Tergantung tiap individu. Jika kamu pandai, kamu bisa belajar apa
saja diluar sekolah," katanya serius. "Yang dinilai kan hasil
kerjanya. Penerbit buku kawan saya itu tidak peduli apa dia lulusan
sekolah fotografi atau tidak. Kualitas foto-fotonya bagus kok. Lebih
dari 20 buku, bayangkan!," ujarnya.
Pat mulai menarik perhatian seorang editor senior yang kelak menjadi
pengasuh majalah Equinox antara tahun 1976-1977. Waktu itu pemuda Pat
Morrow membeli tiket bus, mengisi sebuah koper usang dengan foto-foto
karyanya lalu berkeliling ke Montreal, Toronto dan Ottawa. Tujuannya:
mencoba merebut perhatian pengasuh beberapa majalah dengan esai foto
tentang air terjun yang membeku di Pegunungan Rocky, pemandangan
pantai barat Vancouver Islands dan alam liar Yukon di utara Kanada.
Seperti layaknya petualang muda, Pat pergi kesana-kemari dengan
akomodasi hanya sebuah sleeping bag, lalu bercita-cita membuat dunia
petualangannya bisa ikut dinikmati banyak orang. "Life and photography
are a continouos chain of happy coincidences for him," komentar para
editor setelah mengamati foto-foto karya Pat. Kontan beberapa pengasuh
majalah pun tertarik membeli artikelnya tadi.
Di masa-masa 'perjuangan' itu, Pat tinggal di Kimberley, masih di
British Columbia, bersama ayahnya yang duda. Dia mengaku sering
tertawa sendiri bila ingat kamarnya ketika itu justru lebih sempit
dibanding gudang tempat menyimpan kamera-kamera, alat-alat mendaki dan
perlengkapan ski. Untung kamar itu lebih sering dibiarkan kosong
melompong karena penghuninya bertualang dari satu tempat ke tempat
lain. Dari jajaran pegunungan di British Columbia sampai gurun dan
ngarai di barat daya Amerika.
Di sela-sela perjalanannya, kadang-kadang Pat terlihat nongkrong di
hotel King Edward, Banff. Di situ dia berbagi cerita dengan
teman-teman pendaki dan pemain ski yang membiayai
perjalanan-perjalanan mereka dari upah bekerja sebagai waiters atau
pekerja konstruksi. Dengan prinsip sama lain cara, Pat melakukannya
dengan honor sebagai fotografer-penulis. Sampai-sampai di tahun 1982
oleh J.A Kraulis dan Robert Fulford yang menyusun buku fotografi
Canada: A Landscape Portrait dia disebut 'salah satu fotografer
majalah tersibuk di Kanada'. Akhirnya, berkat kerja keras dan
ketekunan, saat majalah Equinox diluncurkan tahun 1982, Pat jadi salah
seorang yang diajak bergabung sebagai staff lapangan.
Mendaki Tujuh Puncak Benua
Kalau dihitung-hitung sudah hampir 30 tahun Pat Morrow menekuni
kegiatan daki-mendaki gunung. Namun ternyata sulit baginya menentukan
mana pendakian paling berkesan. "Agak susah menjawabnya karena kalau
dilihat dari segi tantangannya, setiap pendakian punya tantangan
tersendiri. Cerita sedih atau senang hampir selalu menyertai tiap
pendakian. Jadi saya tidak punya alasan menganggap salah satunya
sebagai yang paling memorable," ucapnya.
Tidak ada gunung yang paling mudah didaki, begitu prinsipnya. Meskipun
dari segi teknis sebuah gunung dianggap gampang, menurutnya dari segi
lain pasti ada bagian sulitnya. Soalnya gunung merupakan sensitive
area yang segalanya beda dengan di kota. Dikisahkannya, suatu kali dia
dan Baiba terperangkap badai salju di sebuah gunung. Selama beberapa
hari mereka tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya mendekam dalam tenda
- menanti cuaca cerah. 'Siksaan' itu ditambah dengan perjuangan lain:
hampir setiap jam mereka harus menggali timbunan salju di depan pintu
tenda mereka. Alasannya...sekedar supaya mendapat udara untuk
bernapas!
Setelah kenyang mendaki puncak-puncak Canadian Rockies, tahun 1977 Pat
Morrow mulai menatap gunung di luar Kanada. Dia ketika itu tertarik
dengan Gunung McKinley (6194 m) di Alaska, Amerika Utara. Terletak 390
km dari lingkaran kutub utara, gunung yang oleh orang Indian disebut
Denali (yang tertinggi) sama sekali bukan gunung yang ramah. Bahkan
pernah disebut-sebut gunung terdingin di dunia. Pasalnya semakin jauh
sebuah gunung dari katulistiwa, semakin terasa pula efek ketinggian
pada suhu udara. Pada ketinggian yang sama, gunung yang jauh dari
katulistiwa lebih dingin dari yang dekat garis khayal itu.
Sebagai catatan, pada ketinggian 5486 meter atau kurang 600-an meter
lagi dari puncak McKinley, suhu terhangat adalah 28 derajat Celcius di
bawah nol. Lebih dari cukup untuk membekukan tubuh dalam hitungan jam
saja. Tapi Pat terlanjur menganggap kesempatan ini sebagai berkah.
"Sebuah kesempatan untuk coba mendaki gunung di high altitude dan
kebetulan pas dengan isi kantong saya. Sebenarnya saya tidak berharap
banyak, tapi sepertinya menarik dilakukan. So, I did it," katanya.
Pat yang ketika itu baru berusia 25 tahun menguras semua tabungannya
yang sekitar 500 dolar lalu duduk di belakang kemudi sebuah VW Beetle
karatan. Selama empat hari yang melelahkan, dia melintasi Alaska
Highway sepanjang 3.862 km sebelum sampai ke Talkeetna, Alaska. Di
kota inilah sebagian besar ekspedisi pendakian McKinley bermula.
Foto: Des Syafrizal
Pendakian itu yang kemudian dikenangnya sebagai yang terberat. "Well,
soalnya itu pertama kali saya beradaptasi dengan ketinggian ekstrim
dan pengaruhnya buruk sekali buat tubuh saya. Kami merintis sebuah
jalur baru yang juga sulit lewat South West Flank. Akibat terserang
penyakit ketinggian, saya merasa sangat kedinginan, pusing, mual-mual,
kehilangan nafsu makan dan susah tidur." Tapi toh kemudian dia
berhasil.
Tengah malam pada tanggal 27 Mei 1977, dengan susah payah Pat dan
seorang teman berhasil menginjak puncak McKinley. Meskipun saat itu
suhu 34 derajat Celcius di bawah nol, tapi saking kelelahan mereka
berleha-leha hampir dua jam di titik tertinggi Amerika Utara itu.
Pfuff!
Empat tahun kemudian, tahun 1981, saat mendaki 'gunung setan'
Aconcagua (6959 m) di perbatasan Chile-Argentina, Pat ngobrol dengan
rekan setenda. Topiknya: mereka sadar sedang berusaha menjejakkan kaki
di puncak tertinggi Amerika Selatan. Lantaran iseng, saat itu mereka
juga berdiskusi. Gunung apa sih yang tertinggi di benua-benua lain?
Tahun berikutnya lagi setelah mempersiapkan diri di Gunung Muztagh Ata
(7546 m) di Pamir, India, Pat yang termasuk anggota ekspedisi Kanada
berhadapan dengan gunung tertinggi di dunia: Mount Everest. Mencapai
atap dunia itu memang tak mudah. Dalam pendakian yang mengambil rute
South Col di sisi Nepal itu (rute tim Kopassus kita mencapai puncak
pertama kali April ini), seorang anggota tim mereka tertimpa longsoran
es sekaligus mendapat tiket ke alam baka. "Ekspedisi terhenti hampir
dua minggu akibat musibah itu. Lalu sebagian anggota tim memutuskan
pulang ke Kanada. Saat itu secara psikologis betul-betul sulit membuat
keputusan, apakah mau terus atau ikut pulang saja ke Kanada. Akhirnya
delapan pendaki termasuk saya memutuskan untuk berusaha menyelesaikan
pendakian. Bersama kami, ada dua belas sherpa yang siap membantu."
Ekspedisi ini kemudian menjadikan Pat sebagai orang tertinggi di dunia
pada hari dia mencapai puncak.
Dalam perjalanan pulang dari kemah induk Everest, entah kenapa Pat
merasa risau. Dia jadi teringat diskusi dengan temannya di Aconcagua
setahun sebelumnya. "Bila anda baru saja mendaki gunung tertinggi di
dunia, apa yang ada di belakang anda seolah jadi tidak penting dan
bisa jadi anda kehilangan fokus ke depan. Saya telah berhasil mendaki
Everest. Ya. Tapi dengan profesi sebagai fotografer, saya sadar tidak
boleh berhenti di situ. Saya tahu bahwa saya butuh sebuah rencana. Dan
bla, bla, bla, waktu itu jadilah Seven Summits sebagai ide ke masa
depan."
Dasar ide ini, kalau menurut teori lempeng benua, di dunia ada tujuh
daratan yang bisa disebut benua. Kebetulan waktu itu Pat belum pernah
mendengar ada pendaki yang telah menyelesaikan pendakian ke puncak
tertinggi di tujuh lempeng benua itu. Masing-masing Mount Everest
(Asia), Elbrus (Eropa), Kilimanjaro (Afrika), McKinley (Amerika
Utara), Aconcagua (Amerika Selatan), Vinson Massif (Antartika) dan
Kosciusko (Australia).
Buat Pat sebenarnya agak aneh juga kalau belum ada pendaki yang
memikirkan ide seperti ini setelah mendaki Everest. Padahal gunung
yang oleh orang Tibet disebut Chomolungma dan oleh orang Nepal
dinamakan Sagarmatha itu sudah didaki pertama kali oleh Sir Edmund
Hillary dan Tenzing Norgay tahun 1953. "Saya agak heran," akunya.
Di tahun 1983 Pat kasak-kusuk mencari penugasan majalah untuk pergi ke
Eropa, Afrika dan Australia. Dengan cara itu dia bisa sekalian mendaki
tiga puncak lagi: Elbrus (5633 m) di Pegunungan Kaukasus, Georgia
(ketika itu masih bagian dari Uni Soviet), Kilimanjaro (5895 m) di
Tanzania dan Kosciusko (2230 m) di Australia. Berarti sampai tahun
itu, Pat sudah mendaki enam dari tujuh puncak benua.
Tetapi kemudian usahanya ada yang menyejajari. Bahkan dalam persaingan
yang kemudian disebut media massa dengan 'seven summits race' itu Pat
kalah langkah. 'Pesaingnya': Dick Bass, seorang pengusaha milyuner
asal Texas yang ketularan virus mendaki. Ketika itu Pat sedang
berusaha mendaki Vinson Massif (4897 m) di 'benua putih' Antartika.
Tanggal 17 November 1984 pesawat tri-turbo DC-3 milik seorang
kontraktor Califonia lepas landas dari pangkalan Punta Arenas di
selatan Chili. Lima jam kemudian pesawat yang membawa tim pendaki
Vinson Massif itu, termasuk Pat Morrow, mendarat di 'runway' gletser
es di Esperanza, Antartika.
Pat Morrow yang membutuhkan Vinson Massif sebagai puncak terakhirnya
sudah berusaha keras mewujudkan ekspedisi itu. Masalah yang harus
dihadapi sebelum mendaki gunung yang letaknya 966 km dari kutub
selatan itu meliputi: transportasi, logistik, dana dan birokrasi.
Selain itu ekspedisi pun sempat mendapat rintangan dari
organisasi-organisasi ilmu pengetahuan internasional yang sering
melakukan penelitian ilmiah di sana.
Selama setahun Pat berkirim surat ke pejabat birokrasi di lima negara
untuk mencari dukungan. Selain itu dia juga mengontak praktisi
cinematografi, maskapai penerbangan, calon donatur potensial, produsen
alat - alat ski dan mendaki - serta siapa saja yang tertarik.
Pokoknya, dia menghubungi semua kontaknya demi mendaki Vinson. Pat
memang berhasil, tapi tidak saat pelaksanaan ekspedisi.
Ketika pesawat mereka singgah sebentar di Esperanza, pangkalan
terdekat di ujung Antartika sebelum melanjutkan penerbangan mendekati
Vinson, timbul masalah. Pesawat itu mengalami kerusakan sehingga
awaknya harus menerbangkannya ke Argentina untuk perbaikan. Tapi sial.
Mungkin karena waktu itu masih hangat-hangatnya perang Malvinas, di
sana para awak justru mendapat masalah lagi dengan pejabat militer
setempat. Ditambah masalah-masalah lain, akhirnya ketika pesawat naas
itu kembali ke Esperanza, tugasnya hanya membawa mereka balik ke Punta
Arenas. Susah payah Pat menahan rasa dongkol karena hasil ini jauh
dari harapan. Ekspedisi gagal.
Kembali ke Kanada, beberapa bulan kemudian Pat mendapat berita bahwa
Dick Bass yang ikut empat ekspedisi Everest dalam dua tahun, akhirnya
berhasil mencapai puncak pada tanggal 30 April 1985. Orang yang
sebenarnya tidak dianggap saingan oleh Pat Morrow itu sukses bersama
ekspedisi Norwegia yang dipimpin raja kapal Arne Naess. Dia ikut
sebagai paying member (ikut dalam tim dengan membayar) dalam usia 55
tahun, usia tertua bagi pendaki yang berhasil di Everest sampai saat
itu. Bagi Dick Bass, Everest adalah puncak seven summits yang terakhir
setelah sebelumnya dia sudah mendaki keenam puncak lain. Berakhirkah
seven summits race? Nanti dulu.
Semangat Pat Morrow untuk mendaki Vinson tak lantas meleleh. Dengan
komposisi tim agak berbeda dari ekspedisi pertama, ekspedisi kedua
dilancarkan dan berjalan mulus di bulan November 1985. Kali ini mereka
naik pesawat twin otter.
Bulan November dipilih karena saat itu di Antartika sedang musim panas
dengan matahari bersinar non-stop selama 24 jam. Lalu saat pendakian
mereka menggunakan sistem 'ngintip' menembus udara dingin dan tiupan
angin berkecepatan 322 km per jam yang di kalangan meteorologis
disebut angin katabatic. Mereka berjalan saat cuaca 'hangat' (yang
dianggap hangat itu suhu udara konon minus 15 derajat Celcius) dan
langsung berhenti saat matahari bersembunyi dari balik awan atau
punggung gunung. Akhirnya, bendera PBB yang dibawa pendaki empat
negara berhasil dikibarkan di puncak tertinggi Antartika.
"Saya memandang ke batas horizon dan merasa kosong. Saya telah meraih
keinginan saya bersama teman-teman yang membantu setiap langkah
ekspedisi itu. Campur aduk perasaan antara puas dan kecewa jadi sukar
diungkapkan," tutur Pat mengenai perasaannya saat itu. Dia mencapai
puncak bersama tujuh pendaki lain, masing-masing: Stephen Fossett -
ahli ilmu olahraga dari Chicago, Alejo Contreras - salah satu pendaki
terbaik di Chili saat itu yang juga pengamat cuaca, Martyn Williams -
guide pendakian gunung dan arung jeram dari Yukon, Patrick Caffrey,
Giles Kershaw - pilot Inggris dengan jam terbang lebih dari 5000 jam
di Antartika, Michael Dunn - pria Nevada yang sering memenej tour
pendakian dan Roger Mitchell - yang punya pengetahuan segudang tentang
ilmu fisik dalam kegiatan petualangan.
Belum Selesai
Beberapa waktu setelah itu, kalangan pendaki sadar bahwa perdebatan
seven summits belum selesai. Setidaknya masih ada babak kedua.
Selesai mendaki Vinson, Pat Morrow beranggapan masih ada yang
terlewatkan dari rangkaian pendakian itu. Menggugat Dick Bass yang
menganggap Kosciusko sebagai puncak tertinggi di benua Australia, Pat
berpikir bahwa puncak Carstensz Pyramid (4884 m) di Irian yang lebih
tinggi dari Kosciusko mestinya masuk hitungan. Alasannya, Pulau Irian
juga masuk lempeng benua yang sama dengan Australia. Namanya:
Australasia. Karena itu setelah mendaki Carstensz tahun 1986, baru Pat
merasa bahwa seven summits rampung.
Di tahun yang sama, rangkaian pendakian itu disusunnya ke dalam buku
Beyond Everest. Tanpa disangka-sangka, buku itu kemudian memunculkan
'booming' sekaligus trend baru dalam dunia pendakian gunung. Saat itu
Pat dikatakan telah memenangkan persetujuan kalangan pendaki. Para
pendaki jadi demam seven summits dan sebagian besar mengikuti versi
Pat Morrow, yaitu mendaki Carstensz sebagai salah satu puncak dan
bukannya Kosciusko, versi Dick Bass. 'Wabah' ini kemudian juga ikut
menjangkiti para pengusaha, dokter, pengacara dan kaum profesional
lainnya. Begitu pula dengan trekking agency atau tour operator
pendakian yang ikut menjual seven summits sebagai paket komoditi. Di
kalangan pendaki sendiri nama-nama terkenal yang ikut mendaki seven
summits setelah Pat antara lain Reinhold Messner, Oswald Oels,
Christine Janin, Junko Tabey (wanita pertama di puncak Everest),
Ronald Naar, Doug Scott dan banyak lagi.
Merasa belum cukup, masih di tahun 1986 Pat mendaki Elbrus untuk kedua
kali. Kemudian tahun 1991 mendaki lagi Carstensz dan Everest. Rute
yang dipilih untuk Everest kali ini adalah North Col dari sisi Tibet.
Namun Pat harus puas hanya sampai ketinggian 7500 meter. Lalu entah
apa yang dicari, setahun kemudian dia mengulangi pendakian Vinson
Massif dan tahun berikutnya, 1983, giliran McKinley.
Seolah menegaskan kembali alasannya mendaki puncak tujuh lempeng
benua, Pat mengatakan, "Sebenarnya itu cuma karena saya ingin naik
gunung, memotret dan melihat tempat-tempat lain di dunia. Sederhana
saja. Bukan untuk pamer apalagi gagah-gagahan. Buat saya, proyek itu
cara bagus melihat dunia. Kalau kita datang ke satu benua tidak cuma
untuk mendaki, kita akan melihat lebih banyak. Misalnya travelling
sambil bergaul dengan penduduk setempat." Lalu dengan senyum
diteruskannya lagi, "Jika anda punya mimpi, anda harus berjuang
mewujudkannya. Katakanlah anda ingin mendaki tujuh puncak gunung
berapi di Pulau Jawa atau puncak tertinggi tiap pulau di Indonesia,
atau apapun. Lakukanlah! Jadikan itu kebanggaan pribadi anda, untuk
anda sendiri. Tapi jangan jadi alasan membuat diri terkenal."
Way of Life
Walter Bonatti percaya bahwa alam dan gunung merupakan sekolah terbaik
bagi manusia. Pat Morrow, mau tak mau, pernah kerasukan pemikiran
semacam itu. Dia juga mengaku punya filosofi sendiri, untuk apa
capek-capek mendaki sebuah gunung lalu turun lagi. Setiap pendaki
punya alasan sendiri-sendiri. George F. Mallory yang hilang di Everest
tahun 1924 ketika ditanya kenapa mendaki merasa cukup dengan bilang,
"Because it's there!" Tapi seorang pendaki hebat macam Doug Scott
bilang waktu itu Mallory kebelet ingin ke WC. Supaya cepat dia bilang
demikian.
Jadi pasti ada alasannya. Dan seperti taburan bintang di langit,
begitu gambaran betapa sering filosofi lahir dari ketinggian lereng
dan puncak gunung. Tempat yang terasing, sepi, dingin dan angin
memukul seperti palu dimana setiap bahaya harus dihadapi pendaki itu
sendiri. "Filosofinya selalu berkembang. Seiring bertambahnya umur
serta pengalaman, pandangan seseorang tentang mendaki gunung akan
terus berubah," kata Pat "dan penting sekali buat seorang pendaki
untuk sadar bahwa ada gunung yang tak bisa didakinya."
Setelah bertahun-tahun, kini Pat bersikap lebih realistis. Sebagai
orang yang cari nafkah dengan motret di gunung, menurutnya kegiatan
ini sebuah usaha menggabungkan kerja dengan kesenangan. "Buat saya
mendaki sebanyak - banyaknya penting untuk ditulis. Kedua hal itu sama
menariknya. Kalau saya tidak bisa mendaki, selesai sudah. Saya tidak
bisa menulis, maka berarti saya tidak bisa mengongkosi perjalanan
berikut," katanya. Kalaupun ada tujuan sampingan ya untuk 'lari'
sejenak dari tekanan stress dan peradaban modern. Di gunung seseorang
akan kembali merasa menjadi 'manusia'.
Selain itu Pat juga menikmati nuansa petualangannya. Sebaliknya dengan
blak-blakan dia menolak mentah-mentah bila mendaki gunung jadi ajang
mencari kejayaan atau saling berkompetisi. "Mereka tidak belajar
apa-apa dari pendakiannya sendiri," sindir Pat pada pendaki yang cuma
menganggap naik gunung sebagai aktivitas fisik belaka atau lebih parah
lagi, sebagai upaya penaklukkan terhadap alam.
Toh dia menyebut nama Jerzy Kukuczka sebagai contoh. Jerzy adalah
pendaki hebat asal Polandia. Orang kedua yang merampungkan grandslam
14 puncak 8000-an meter di Himalaya. Meskipun selalu mencari-cari
gunung atau jalur pendakian yang lebih sulit dari yang pernah
didakinya, menurut Pat, Jerzy bukan pendaki yang hanya mengejar
prestasi dan nama besar. "Saya kenal dia. Kami pernah bertemu di
Inggris dan saya mengerti alasan-alasannya. He's a climbing bum. A
real climber," komentar Pat tentang pendaki yang tahun 1989 akhirnya
menemui ajal terkubur avalanche (longsoran salju) di salah satu dari
tiga jalur yang konon tersulit di dunia, yaitu dinding selatan Lhotse.
Istilah 'climbing bum' itu sendiri muncul ketika di tahun 1995 Pat,
Baiba dan teman-teman termasuk Adiseno, mendaki 21 gunung di atas
3000-an meter di barisan pegunungan Japan Alp termasuk Fuji-san.
Mereka menyeberangi Pulau Honsyu dari Laut Jepang sampai Laut Pasifik
sambil mendaki maraton. Ketika itu di sela pendakian, kepada Adiseno
dia mengatakan bahwa orang-orang seperti dirinya yang hidup seolah
hanya untuk mendaki adalah 'climbing bum'. Kalau diterjemahkan, bum
kira-kira berarti 'orang miskin yang bertualang'. Jadi gampangnya
climbing bum diartikan gembel gunung.
"Mereka orang-orang yang punya komitmen untuk terus mendaki dan
menjadikannya gaya hidup," ulang Pat. Barangkali bisa disetarakan
dengan seorang Bobby Robson atau Beckenbauer yang saking cintanya pada
olahraga sepakbola sampai bilang, "Saya ini hidup dari dan untuk
sepakbola." Atau mereka-mereka yang akrab dengan sarung tinju dan
sansak di sasana yang suka berteriak, "Tinju adalah darah daging
saya!"
Lebih jauh Pat menyebut contoh lagi yaitu Peter Croft. Pemanjat Kanada
yang menetap di AS itu menurut Pat sepanjang tahun kerjanya manjat
melulu. Pola hidupnya sederhana, malah bisa dibilang irit. Pengeluaran
paling untuk makan dan tempat tinggal. Selebihnya? Untuk ongkos
mendaki! "Orang-orang macam dia itu mendaki gunung, manjat tebing atau
main ski hanya untuk menikmati. Bukan untuk tujuan lain, apalagi uang.
Really. Justru uang mereka habis disitu. Untuk mendaki ke berbagai
tempat kan butuh uang. Kadang mereka kerja part-time selama 3-4 bulan.
Kerja apa tak jadi soal, asal halal. Kalau uang dirasa cukup langsung
berkemas-kemas lalu mendaki lagi sepanjang sisa tahun," kata Pat.
Pat beruntung profesi fotografer berhubungan langsung dengan
kesenangan mendaki. Waktu ke Jepang itu, dia mendapat penugasan dari
majalah. "Sayangnya, satu majalah saja tak mampu menutup biaya
perjalanan yang cukup mahal. Karena itu selesai menulis untuk Equinox,
saya juga menjual tulisan serupa ke majalah - majalah luar negri atau
ke penerbitan yang biasa menerbitkan buku panduan travel. Dari situ
uangnya kami pakai beli tiket pesawat untuk perjalanan berikut." Kalau
masih belum cukup juga, maka dia berusaha menggaet sponsor. Yang
paling sering maskapai penerbangan Air Canada.
Sebagai ilustrasi, di Jepang Pat dimodali sponsor dari ujung kepala
sampai ujung kaki misalnya oleh Adidas, Sierra Design, Kelty -
produsen pakaian dan alat pendakian. Penginapanpun dibantu surat sakti
dari Yama-kei, penerbit majalah pendakian terkemuka negeri sakura itu.
Atau lebih gila lagi, sampai ke soal makananpun dari sponsor!
Dengan daftar pendakian begitu panjang, harap maklum kalau Pat
memiliki banyak teman di berbagai negara. Kalau berniat mendaki di
sebuah negara, dia menghubungi temannya yang tinggal di sana. Kemudian
sering dia menginap di rumah sang teman, makan di situ dan ditemani ke
gunung yang dituju. Sebaliknya kalau teman-temannya mengunjunginya di
Kanada, mereka juga diperlakukan serupa. "Ini alasan lain kenapa saya
pakai istilah climbing bum.
Mereka punya teman di seluruh dunia yang bisa membantu mereka pergi ke
sebuah gunung. Di kota kecil tempat tinggal kami saja paling tidak ada
50 - an pendaki terdiri dari professional guide dan climbing bum.
Sosialisasinya menyenangkan. Dan anda tahu hampir di setiap kota
sekarang ini ada pendaki gunung atau orang yang suka pergi ke alam
terbuka. Kita seperti punya teman di mana saja," ujarnya.
Di tahun 1986 bersamaan dengan pameran EXPO di Vancouver, Pat menemani
alm. Norman Edwin, Adiseno dan Titus Pramono, teman-teman
Indonesia-nya untuk mendaki Bugaboo Spire di Canadian Rockies. Begitu
juga terhadap Ang Nima Sherpa yang membantunya dalam dua ekspedisi
Everest. Persahabatan yang lahir dari atas gunung biasanya memang
sudah teruji.
Soal pilihan antara mau terus mendaki atau hidup normal seperti
kebanyakan orang, menurut Pat kultur di Indonesia, Kanada atau di
manapun sama saja. "Kita selalu diharapkan oleh keluarga atau
masyarakat untuk hidup normal. Masuk universitas, cari kerja,
berkeluarga dan sebagainya. Dulu ayah saya memang tak pernah bilang
tidak, tapi saya tahu dia lebih suka saya hidup seperti orang lain."
Sulit diterima akal sehat kalau ingin terus mendaki atau bertualang di
alam terbuka tanpa kuatir rejeki seret. Apalagi untuk hidup dari situ!
Bedanya di Eropa atau Amerika kecenderungan orang mencari nuansa
kebebasan terasa lebih kuat. Salah satu caranya dengan mendaki gunung.
Walaupun demikian, komitmen untuk hidup dari dan untuk mendaki boleh
jadi cuma dimiliki para gembel gunung ini. "Itu memang pilihan yang
berani dan butuh kerja keras, tapi nyatanya banyak kok yang lebih gila
dari saya," katanya. Pun, Chris Bonington, pendaki, penulis buku,
fotografer sekaligus pemimpin ekspedisi terkenal asal Inggris pernah
melepas kesempatan jadi pelatih manajemen di perusahaan multinasional
Unilever. Dia menyatakan, "I choose to climb !"
Pat tidak menutup mata dengan kenyataan cuma segelintir orang jadi
kaya karena mendaki. Kalau orang kaya senang mendaki sih banyak.
Kalaupun ada yang hidup makmur hasil mendaki, salah satu yang layak
disebut adalah Reinhold Messner. Pendaki asal Tyrol, Italia selatan
ini prestasinya selangit: orang pertama mendaki the all 14-eight
thousanders atau 14 gunung diatas 8000 meter, mendaki Everet tanpa
tabung oksigen, bahkan sekali secara solo. Messner yang juga membuka
banyak jalur sulit di berbagai gunung ini pernah jadi model iklan jam
tangan Rolex dan disponsori Fila - produsen pakaian olahraga. Kabarnya
dia juga punya sebuah puri di Italia. Orang ini, kata Pat, enteng saja
merogoh kocek membeli sebuah rumah seharga 200 ribu dolar untuk
putrinya yang tinggal dekat Canmore, kota tempat tinggal Pat dan Baiba
di Kanada.
Bukan Cuma Mendaki
Pat dan Baiba yang berjumpa pertama kali di Canadian Rockies sekitar
tahun 1983 dan menikah setahun kemudian, sempat pula melakukan usaha
sampingan. Selama tujuh tahun mereka bergabung dengan Adventure
Network International (ANI). Perusahaan yang cikal bakalnya di Kanada
tapi lalu berkantor di Inggris ini menjual jasa panduan teknis dan
manajemen untuk ekspedisi petualangan ke Antartika, termasuk pendakian
Vinson Massif. "Ada banyak perusahaan sejenis tapi cuma ANI yang bisa
menerbangkan kliennya dari Inggris masuk ke banyak bagian Antartika,"
katanya tanpa maksud promosi "tapi kami sekarang sudah tidak bergabung
di sana lagi."
Pasangan pendaki di Canadian Rockies ini memang kadung menjadikan
pendakian sebagai gaya hidup. Karena itu mereka jarang sekali
melakukan latihan-latihan khusus kalau tujuannya cuma untuk menjaga
kondisi. "Kami ini pemalas ha..ha..ha.. Kami tidak berlatih. Buat kami
mendaki gunung itu untuk mencari kesenangan."
Ini dimungkinkan karena rumah mereka di Canmore dekat pegunungan
bersalju. Kalau sedang tidak bepergian, setiap hari mereka hiking atau
main ski selama beberapa jam. Kemudian kalau mau mendaki atau manjat
tebing bersama di akhir pekan. Dengan cara hidup demikian tak heran
kalau mereka sanggup bertahan lama di alam terbuka.
Kondisi fisik mereka terpelihara secara alamiah. "Tapi kalau pendaki
yang tinggal di kota besar yang panas dan berada di dataran rendah
seperti Jakarta ini, harus punya komitmen pribadi. Disiplin menjaga
kondisi dengan jogging atau slow continuous run, misalnya, atau
latihan lain. Beda dengan kami yang terbiasa hidup di gunung. Berat
memang, tapi apa ada pilihan lain?," tanyanya.
Soal mendaki Pat lebih suka melakukannya dalam kelompok kecil. "Kalau
anggota timnya banyak lebih besar kemungkinan terjadi kesalahan.
Pergerakan juga jadi lambat. Dengan tim kecil selain gampang mengambil
keputusan juga lebih cepat dan enjoy," alasannya. Untung dan
kebetulan, istrinya juga pendaki. Setelah menikah dengan Baiba, Pat
hampir selalu melakukan perjalanan bersama istrinya itu. "Kami jadi
sebuah tim kecil dan saling berbagi pekerjaan. Biasanya dia yang
membuat telpon-telpon mengurus perijinan, janji pertemuan, mengatur
waktu atau bersama-sama membuat perencanaan," kata Pat mengenai Baiba
yang juga partner jalan yang tangguh.
Tidak cuma mendaki, Pat juga senang trekking (jalan-jalan di
pegunungan) karena lebih banyak yang bisa dilihat dan dipotret.
Misalnya di Himalaya. "Suatu kali kami jalan kaki dari kaki Gunung
Annapurna di Western Himalaya sampai kaki Everest selama tiga bulan.
Sehari kami jalan antara 10-15 kilometer dan banyak hal menarik yang
kami jumpai, misalnya budaya masyarakat sherpa. Kalau anda terlibat
dalam pendakian Everest, seluruh perhatian anda terfokus ke sana.
Pandangan jadi sempit. Padahal dekat situ banyak puncak-puncak lain
yang meski tingginya hanya 5000 atau 6000-an meter tapi juga
menawarkan pemandangan sangat indah."
Dari kegemaran trekking ini, di tahun 1991 Pat dan rekannya menulis
Himalayan Passage. Kisah long journey-nya ke puncak-puncak 5000-an
meter di sana. Selama tujuh bulan dia melintasi pegunungan sangat
tinggi, lembah sangat curam dan udara sangat dingin itu.
Transportasinya beragam: jalan kaki, mountain bike, bus atau menumpang
truk. Hampir semua kawasan Himalaya dilewati mulai dari Tibet, Western
China, Pakistan, Karakorum, India sampai Nepal.
Kegemaran lain yang biasa dilakukan Pat adalah turun gunung dengan
ski. "Terasa lebih menarik dan exciting dibanding waktu naiknya.
Padahal justru lebih sulit dan berbahaya juga," kata lelaki yang turun
dengan ski dari ketinggian 7500-an meter di Gunung Muztagh Ata ini.
Apakah orang ini tak pernah merasa takut? "Rasa takut selalu ada. Kita
tidak mungkin menghilangkannya sama sekali. Sesekali kita mesti
memutuskan mundur, menuruti rasa takut itu," kata pria ini mengutip
ucapan temannya. Lalu bagaimana perasaannya jika dalam sebuah
pendakian seorang rekannya tewas seperti yang terjadi dalam ekspedisi
Everest di tahun 1982 itu?
Setelah berpikir sejenak dia menjawab hati-hati, "Begini. Itu
kira-kira sama saja jika sekali waktu anda dan teman-teman naik mobil
bersama sepulang dari kantor. Begitu masuk jalan raya tiba-tiba sebuah
truk besar 'nyelonong menghantam mobil itu sehingga teman anda yang
duduk di jok belakang tewas seketika," jawabnya serius.
Agaknya Patrick Alan Morrow akan terus setia dengan komitmen
pribadinya. Kisah petualangannya juga masih akan terus dinikmati
banyak orang. Saat ditanya kapan akan berhenti pun dia bilang, "Saya
tidak tahu. Kalau bisa mendaki terus. Toh pendaki-pendaki besar
seperti Chris Bonington, Doug Scott atau Messner masih melakukannya
saat umur mereka menjelang 60 tahun. Mereka memang tidak bisa dibilang
kaya tapi saya yakin mereka bahagia dengan pilihan hidupnya. Uang
bukan segala-galanya kan?" Wah! (Reynold Sumayku/M-527-UI)
--
[h][A][n][u][N][g] - living in the beautiful life
11 mdpl, 0°57'166" LS, 122°47'287" BT
"Semua Orang itu Guru, Alam Raya Sekolahku, Sejahteralah Bangsaku" - Marjinal
No comments:
Post a Comment