Rupanya seks tak lagi dianggap sebagai sesuatu yang sangat berharga.
Di internet, muda-mudi memajang foto diri dengan adegan yang sulit
dibayangkan oleh guru dan orangtua mereka. Benarkah ini bukan suatu
kelainan seksual?
Berita paling heboh akhir tahun lalu adalah beredarnya video porno
YZ dan ME. Berita ini seakan menenggelamkan berita lain yang
dianggap lebih menyangkut kepentingan masyarakat bawah, seperti
tragedi lumpur Lapindo. Padahal, sebenarnya kasus video porno
seperti itu bukan yang pertama.
Namun, karena pelaku adegan porno itu punya jabatan yang menyangkut
publik, beritanya menjadi lebih heboh. Kehebohan menjadi semakin
riuh karena berbagai SMS yang mengundang tawa terus beredar luas
dari satu telepon ke telepon yang lain. Semakin seringnya muncul
rekaman adegan porno buatan sendiri seperti itu, mengundang
pertanyaan "mengapa dan untuk apa" mereka lakukan itu. Khusus untuk
kasus YZ-ME, mungkin jawabannya menjadi lebih jelas setelah sisi
hukumnya selesai.
Namun, ada banyak rekaman porno lain yang dilakukan tanpa tujuan
tertentu, selain untuk sebuah keisengan yang menyenangkan.
Seorang teman bertanya apakah itu suatu jenis kelainai seksual. Saya
menjawab, bukan dan tidak ada hubungannya dengan kelainan seksual
apa pun. Keisengan yang menyenangkan, barangkali merupakan jawaban
yang paling tepat bagi pertanyaan mengapa dan untuk apa merekam
adegan erotisnya sendiri.
Tanpa Tujuan
Kasus video porno rekaman sendiri yang pertama kali heboh
diberitakan ialah kasus mahasiswa Itenas beberapa tahun lalu. Di
situ jelas tanpa tujuan tertentu, selain hanyalah keisengan yang
menyenangkan. Pelakunya adalah sepasang anak muda yang memang
berpacaran, dan boleh jadi akan menjadi pasangan suami istri. Ketika
VCD-nya beredar luas, orang dapat menyaksikan bagaimana sepasang
anak muda Indonesia melakukan hubungan seksual apa adanya, tanpa
rekayasa seperti VCD porno yang memang diproduksi untuk tujuan
komersial.
Setelah kasus Itenas mengguncang negeri ini, rekaman serupa kemudian
bermunculan, bahkan hanya menggunakan telepon seluler. Sekelompok
siswi SLTA merekam organ kelaminnya sendiri, lalu dengan keceriaan
menyebarkan ke teman-temannya.
Yang lain merekam adegan melakukan masturbasi, dan juga menyebarkan
ke teman-temannya. Lebih jauh, pernah diberitakan juga beredarnya
rekaman telepon seluler seorang perempuan pejabat salah satu daerah
yang beradegan erotis dengan teman prianya.
Tampaknya tidak ada tujuan khusus dengan merekam diri sendiri,
selain keisengan yang menyenangkan itu. Dibandingkan dengan
peredaran gambar porno melalui internet, rekaman melalui telepon
seluler tentu bukan apa-apa. Di situs porno Indonesia kita dapat
menyaksikan sejumlah cewek berbugil ria, bahkan melakukan adegan
hubungan seksual.
Kasihan sekali, karena mereka adalah wajah bangsa di masa depan.
Memang masih perlu dipertanyakan, apakah mereka dengan sadar difoto
seperti itu dan memang bersedia disebarkan melalui internet, ataukah
mereka hanya korban kejahatan peredaran pornografi.
Perubahan Norma
Sebuah pertanyaan yang perlu dijawab ialah mengapa muncul keisengan
yang menyenangkan itu, sehingga mau merekam diri sendiri? Paling
sedikit ada dua hal yang mungkin menjadi penyebabnya. Pertama,
karena seks tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang sangat
berharga. Kedua, pengaruh teknologi informasi yang semakin mudah
diterapkan.
Penyebab pertama sebenarnya telah terjadi sejak lebih dua dekade
yang lalu, ketika terjadi perubahan pondangan tentang seks, yang
diikuti perubahan perilaku seksual. Sejak itu, telah terlihat
perubahan perilaku seksual, baik di kalangan remaja yang belum
menikah maupun orang dewasa yang telah menikah.
Hubungan seksual tidak selalu dikaitkan lagi dengan bingkai
pernikahan. Seks hanyalah untuk kesenangan semata. Didukung oleh
teknologi informasi yang semakin canggih dan mudah diterapkan,
muncullah keisengan yang menyenangkan itu.
Sebenarnya keisengan menyenangkan itu bukan sesuatu yang harus
dirisaukan kalau saja dilakukan sebatas bersifat pribadi. Artinya,
boleh saja merekam organ kelaminnya sendiri hanya untuk keisengan.
Boleh pula merekam adegan erotisnya bersama pasangannya sebatas
bersifat pribadi. Itu termasuk hak pribadi untuk kesenangan sendiri.
Namun, keisengan akan berubah menjadi kerumitan kalau rekaman yang
seharusnya bersifat pribadi menyebar ke publik, walaupun tidak
disengaja. Kerumitan akan semakin kacau kalau penyebaran itu
ternyata disengaja untuk tujuan tertentu.
Dalam keadaan seperti ini, reaksi pasti muncul karena telah
bersentuhan dengan norma. Meski demikian, norma sosial masyarakat
bukanlah sesuatu yang tidak dapat berubah. Norma sosial masyarakat
ternyata telah berubah.
Ketika menyaksikan video porno ala YZ-ME, reaksi masyarakat
sebenarnya tidak terlalu berlebihan. Terhadap adegan itu justru
masyarakat bereaksi secara jenaka, terbukti dari banyaknya SMS yang
membuat kita terbahak bahak. Kalaupun muncul reaksi keras, itu
terutama karena pelakunya tergolong tokoh yang menyangkut publik.
Jadi, bukan karena adegan yang dilakukan seperti terekam oleh layar
HP itu. Kalau cuma adegan porno begitu, masyarakat mungkin sudah
terbiasa.
Melalui VCD porno bajakan yang hanya dijual seribu tiga biji,
masyarakat dengan puas dapat menyaksikan adegan yang lebih dahsyat
lagi. Saya semakin yakin perbuatan itu hanyalah sebuah keisengan
yang menyenangkan.
Bentuk Kompensasi
Kalau direnungkan, memang aneh juga. Masyarakat di negara yang
mengalami krisis multi dimensi dan banyak utang tetapi mengaku
religius ini, justru gemar merekam adegan erotisnya. Bahkan,
walaupun tidak direkam, di sebuah sekolah di salah satu kota pernah
terungkap, siswanya melakukan aktivitas seksual di kelas pada jam
istirahat. Ini sungguh keterlaluan, walaupun boleh jadi juga
termasuk keisengan yang menyenangkan.
Tiba-tiba saja timbul pertanyaan di benak saya, mungkinkah keisengan
yang menyenangkan itu dilakukan sebagai kompensasi terhadap
penderitaan akibat krisis multi dimensi yang tak kunjung selesai?
Jawaban saya, mungkin saja. Keisengan itu mampu membuat orang
melupakan penderitaan yang tak kunjung berhenti. Sayangnya, cuma
sesaat!
(Rubrik Seksologi Asuhan Prof.Dr.dr.Wimpie Pangkahila, Sp.And)
No comments:
Post a Comment